Dr. H. Khusnul Hakim, MA - Dosen Ilmu Tafsir PTIQ, Jakarta
Selama ini, kita seakan telah bertauhid; mengesakan Allah swt. Tetapi apakah penauhidan itu benar-benar mengakar dalam praktik kehidupan kita? Masih susah memastikannya.
Dari sini terlihat, bahwa sebenarnya, telah terjadi pemisahan besar, antara pengesaan kita terhadap Allah swt pada level aqidah ketuhanan (tauhid uluhiyah), dengan penauhidan kita
terhadap Allah swt dalam susah-senang kehidupan (tauhid Rububiyah). Keduanya ternyata saling mensyaratkan; keyakinan kita kepada Allah swt sebagai Tuhan, harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah swt-lah yang mengatur, mengurusi, dan membimbing segenap praktik hidup, mulai dari soal rezeki, karir, jodoh, nasib, cita-cita, dsb. Jadi, menurut hikmah ini, seorang muslim belum bertauhid, selama ia masih meyakini bahwa kerjanya itulah (bukan Allah swt) yang memberi rezeki.
Seorang muslim boleh taat sholat, tetapi ketika ia lebih takut kepada (PHK) atasannya, daripada keyakinan dia akan Maha Pemberi Rezeki (Allah swt), maka ia bisa dikatakan lebih menuhankan si bos tersebut, daripada Allah swt. Pada titik inilah, seluruh sholatnya sia-sia, karena ia tak sepenuhnya menghadapkan diri ke Haribaan-Nya. Hal sama terjadi pada level syar’i. Ketika seorang muslim mengikrarkan diri bertauhid, namun dalam kerjanya tak sesuai dengan aturan Allah swt, maka ia belum disebut bertauhid. Penuhanan Allah swt pada level batin dan ibadah ritual, haruslah dibuktikan dengan penuhanan Allah swt, melalui jalan hidup yang sesuai dengan syari’at-Nya.
Menarik tesis ini, karena ia hendak menggerakkan tauhid melalui penyatuan wilayah metafisik dan praksis; satu hal yang terlupakan dari kesadaran umat Islam. Berikut ini wawancara redaksi Cahaya Sufi, dengan pengajar ilmu al-Qur’an di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ), Jakarta, Dr. H. Khusnul Hakim, MA.
Apa yang anda maksud dengan tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah? Kenapa dalam soal tauhid, harus ada dua model ini?
Terlebih dahulu kita perlu memilah antara istilah tauhid dan Ahad. Tauhid itu khan menyatukan, atau menganggap satu. Dalam Islam, penggunaan kata Ahad menunjukkan makna tunggal yang tak berbilang. Makanya, sejauh kata Ahad ini sebagai kata sifat, kata Ahad ini hanya milik Allah swt. Maka untuk mengatakan orang itu satu, tak bisa menggunakan syahsun Ahad, tetapi al-syahsu al-wahid. Kenapa? Karena satunya saya dengan Satunya Tuhan itu berbeda. Kalau satunya saya merupakan lawan dari dua, tiga, empat, dsb. Tetapi kenapa dalam tauhid ada terma, failaahukum ilaahun waahid, tidak failaahukum ilaahun Ahad. Karena al-Qur’an menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk punya banyak tuhan. Sehingga kata wahid tadi bermaksud menyangkal anggapan orang bahwa ada tuhan banyak.
Tauhid sebagai proses penauhidan itu, maknanya apa? Kalau Tuhan sudah Satu, kenapa harus ada tauhid?
Karena Allah swt itu Esa dalam dzat, sifat, dan af’al. Makanya tauhid Uluhiyah itu bermakna, keyakinan kita terhadap Tuhan yang Esa dalam dzat dan sifat-Nya. Sehingga tak ada satupun yang layak untuk digantungi selain Allah swt. Nah problemnya ada tauhid al-af’al; Esa dalam perbuatan Tuhan. Sebenarnya, uluhiyyah itu hasil dari Rabb. Rabb ini terma ketuhanan dalam af’al Tuhan. Kata rabbi, arti umumnya adalah memelihara, merawat, bertanggungjawab, mendidik; mengawal manusia pada penciptaan-Nya yang sempurna. Makanya ungkapan al-Qur’an itu rabbul ‘aalamin. Kesadaran inilah yang kemudian membawa pada tauhid uluhiyyah; tidak ada yang layak disembah selain Sang Pemelihara alam.
Nah, hilangnya kesadaran manusia atas tauhid Rububiyah, efeknya luar biasa. Kalau dia orang kaya, orang kuat, orang punya kekuasaan yang besar, ia akan punya potensi untuk berperilaku seperti Fir’aun. Kalau saya ini orang berkuasa, dan Anda di bawah kekuasaan saya, maka kalau saya tak menyadari bahwa kekuasaan itu bukan milik saya, bahwa sebenarnya yang ngurus saya itu Tuhan, termasuk yang ngurus Anda (yang sepertinya saya ngurus) itu adalah Tuhan, berarti saya kehilangan tauhid Rububiyah. Nah kalau satu saat, perilaku Anda tak sesuai dengan saya, saya katakan, “Anda mau hidup dengan siapa? Kalau bukan karena saya, mana mungkin Anda hidup?”
Inilah kesalahan Fir’aun. Dia menganggap dirinya Rabb dan Ilaah. Tapi anggapan dirinya sebagai Ilaah itu akibat dari hilangnya Rabb. Awal pikirannya itu sebenarnya begini; yang menciptakan semuanya adalah Allah swt, yang memberi rezeki itu Allah swt. Konsep itu ada di diri Fir’aun, karena konsep itu fitrah. Nah tapi dalam perjalanannya, ia kemudian melihat kenyataan. Fakta memperlihatkan, rakyat Mesir, dia yang menentukan hidupnya, tanah air Mesir dia yang menguasai, bahkan hidup-mati rakyat Mesir, dia yang menentukan. Dia berpikir, “Kalau saya yang menentukan hidup-mati rakyat Mesir, lha mestinya saya yang jadi Tuhan”. “Kalau memang begitu, berarti saya yang harus disembah”.
Makanya, tauhid uluhiyah itu merupakan hasil dari keyakinan seseorang akan tauhid Rububiyah. Seseorang memang tak akan menghilangkan keyakinan dia terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta. Tetapi kalau pertanyaannya sudah menukik, “Siapa yang memberi rezeki kepadamu?” Di sini tauhid Rububiyah diuji, bahwa hakikatnya, yang mengurus kita dan keluarga kita adalah Tuhan. Kalau begitu ketika saya mengabdi dan menyembah Allah swt sebagai Ilaah, di mana Ilaah itu sebagai dzat yang digantungi, yang menjadi pusat tujuan, yang ditakuti, dan diharapkan.
Nah, kenapa orang menjadikan pekerjaannya sebagai Ilaah? Kenapa orang menjadikan uang sebagai Ilaah? Itu karena ia lemah pada Rububiyahnya. Dia kira, dia dapat rezeki dari kerja. Dari sini kita tahu betapa pemantapan tauhid Rububiyah menjadi penting sekali. Karena Rububiyah ini menyangkut tauhid al-af’al. Saya kasih contoh lagi, Nabi Musa. Satu saat beliau berada dalam kondisi sangat sulit, karena (saat bersama kaumnya) di belakang ada Fir’aun, di depan ada laut. Kaumnya berkata, “Musa, kita tak akan selamat”. Jawab Nabi Musa, “Tidak, kita tak akan bisa terkejar, karena kita punya Tuhan”. Makanya di ayat itu kalimatnya, Inna ma’ya Rabbi, bukan inna ma’iya Ilaahi. Pertanyaannya, apakah kaum yang melontarkan tanya tadi tak percaya bahwa Tuhannya adalah Allah swt? Sebagai Ilaah dia percaya, tetapi sebagai Rabb dia lemah. Maka lemahnya keyakinan terhadap Allah swt sebagai Rabb ini yang membuat orang yang beribadah, tetapi masih menuntut kepada Tuhan, ketika hidupnya mengalami kesusahan. “Ya Allah swt, saya menyembah-Mu tetapi kenapa saya masih susah?” Nah ini khan karena ia tak memiliki kesadaran bahwa Allah swt, selain Yang Maha Disembah (Ilaah), juga Yang Memelihara Hidup (Rabb).
Kesatuan antara keyakinan Rububiyah dengan usaha manusia itu seperti apa?
Menurut saya, kesatuan ini terdapat pada usaha untuk mendudukkan secara proporsional, antara usaha dan hasil. Hidup ini menjadi susah, karena kita ikut-ikut mengurusi hasil dari usaha yang kita lakukan. Padahal wilayah kita di usaha itu. Ini terdapat dalam konsep tawakkal di Islam, menyangkut kasus shahabat. Di situ Nabi Muhammad berkata, i’qil fatawakkal ‘ala Allah swt (ikatlah, baru tawakkal kepada Allah swt). Ini terjadi ketika satu shahabat membawa kuda, bertanya pada Rasul, “Ya Rasul, apakah saya harus mengikat kuda ini atau saya tawakkal saja?”
Di sini terlihat bahwa tawakkal itu ada di titik terakhir, ketika ia ingin menguatkan tauhid Rububiyah. Jadi ketika kita tawakkal, maka sebelumnya kita harus menghilangkan sama sekali usaha yang telah kita lakukan, untuk mengembalikannya kepada Allah swt. Dari sinilah seseorang bisa memosisikan Allah swt sebagai Rabb. Maka untuk mencapai tauhid Rububiyah haruslah dimulai dengan ikhtiyar, lalu kemudian ijtihad atau profesionalitas dalam bidang yang dikerjakan, serta ihtiyath (hati-hati) agar usahanya tak menghalalkan segala cara. Nah pada titik inilah wilayah kita. Pertanyaannya adalah apakah ketika manusia sudah ikhtiyar, ijtihad, dan ihtiyath, pasti ia mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan? Di sinilah titik tawakkal berada. Pada titik ini tawakkal kemudian menyatu dengan tauhid Rububiyah.
Al-Qur’an menyatakan, Wainsaaltakum man nazala minassamaai maa’a (siapa yang menurunkan hujan dari langit?) Siapa yang menciptakan langit dan bumi? Siapa yang memberikan rezeki? Maka al-Qur’an menyatakan, layaquulunAllah swt; mereka menjawab bahwa Allah swt yang memberi rezeki. Nah ini wilayah tauhid Rububiyah. Tetapi ketika tauhid Rububiyah tadi tidak masuk pada dirinya, maka ia tak akan menyembah Allah swt lagi. Kalaupun ia menyembah, itu bukan berangkat dari dirinya, tetapi kewajiban dari luar diri.
Jadi orang itu khan tak bisa menentukan dirinya sendiri. Kalau saya boleh milih, mestinya saya milih kerja mapan gaji besar. Makanya, kalau ada orang bahagia, itu pasti bukan karena persoalan dari luar dirinya. Misalnya, kalau ada orang miskin kok susah, itu bukan karena kemiskinannya, tetapi karena Tuhan hilang dari dirinya. Begitu juga sebaliknya; kalau ada orang kaya bahagia, itu pasti bukan karena hartanya, tetapi karena Tuhan ada dalam dirinya. Di sinilah tauhid Rububiyah bukan merupakan suatu teori, tetapi keyakinan. Sebab keyakinan itulah yang menjadikan seseorang tenang dalam hidup. Makanya, kenapa orang tak bisa meng-Ilahkan Allah swt, karena dalam praktik tauhid (tauhid Rububiyah)-nya, ia mencabang. Artinya, meskipun ia sholat, puasa, zakat, tetapi pada praktik hidupnya, ia masih meyakini bahwa sumber rezeki ya pekerjaannya. Maka, segenap ibadah ilahiyah itupun akan kehilangan makna, ketika usaha kerja tidak membuahkan hasil. “Ah, sama saja ternyata, aku sholat, puasa, tetapi tetap kena PHK”. Demikian orang itu kehilangan tauhid uluhiyah-nya, karena dalam praktik sehari-hari, ia tak memiliki tauhid Rububiyah. (Arif)
Tauhid Uluhiyah & Tauhid Rububiyah
Labels: Tauhid
Subscribe to: