Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur’an menganjurkan kita untuk ‘percaya bahwa’? Apakah Al-Qur’an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur’an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].
Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]”. Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “ama khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum “apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay’, menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay’iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma’dum)?”
Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.
Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah).
Ada kalanya al-Qur’an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”[8].
Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.
Ada kalanya al-Qur’an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”. Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.[9].
Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur’an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur’an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda’), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional. [10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur’an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبين
الم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء
Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut : [12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق,
“هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا"
"ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur’an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan).
Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.[14] Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali
Ayat-ayat Kosmologis
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.[19]
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an[20]. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.
Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:
Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu’ (bukti kontradiksi)’.
Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.
Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik ‘Arsy.[26]"
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata ‘Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.
Keempat: "Katakanlah,’Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?’ Maka apakah kalian tidak mendengar?[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,’Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?’ Tidakkah kalian perhatikan?"
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: ‘Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?’ Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.
Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.
Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,’Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?[30]"
Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[31]”. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."
Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara’ (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.
Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah ‘illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).
Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.
Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur’an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur’an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.
[1] Ja’far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu’i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106.
[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader’s Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, hal. 37 Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu’i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja’far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An’am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An’am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11
Tuhan Berfilsafat?
Labels: Teologi Dan Filsafat
Allah dan Tuhan
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati,” merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.
Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama, bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monoteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan), dari a (tidak) dan Theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut al-Ilhad.
Kata yang memberikan signifikansi Wujud Pencipta dalam al-Quran sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.
Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.
Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.
Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.
Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan (Asmaul Husna). Kata “Tuhan,” misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan (tuhan), dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Parsi. Karena itu, bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.
Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafzhul jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-Rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata ar-Rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.1 Itulah sebabnya, mengapa kata “rabb,” “ilah,” “khalik” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi saw, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).
Atas dasar itu, kata “Allah,” baik berupa kata baku (jamid) atau pun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal,” dan ia tidak mempunyai arti selain Zat Yang Adikodrati Swt. Namun, tatkala Zat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah,” mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Zat Yang Menghimpun sifat-sifat kesempurnaan,” bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).
Kata personal “Allah” karena oleh sebagian besar mufasir dianggap sebagai ism ma’rifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusasteraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya.” Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “Ya Allah” (Wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Quran.2 Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan di-fathah-kan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma.” Kata panggilan khas ini ditemukan satu kali dalam surah Ali Imran ayat 26, satu kali dalam surah al-Maidah ayat 114, satu kali dalam surah al-Anfal ayat 32, satu kali dalam surah Yunus ayat 10, dan satu kali dalam surah az-Zumar ayat 46.3
Namun kata “Allah” menurut sebagian ulama bukanlah bentuk ma’rifah dari kata ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti Zat Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, dalam Agama Ortodoks Suriah, bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.4
Dalam kitab suci al-Quran, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb.” Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat, la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul.” Ilah berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah.”5
Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah,6 atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas, apakah “Tuhan” menunjuk “Sang Pencipta” (Khalik) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan “ar-rab” dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur.” Seandainya “Tuhan” atau “Ilah” berarti “Pencipta” (Khalik), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah.” Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan seluruh kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrik lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai Pencipta. (QS. Lukman: 25)
Dalam al-Quran, kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali7 sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.8
Arti “ilah” dalam rangkaian syahadat (kalimah at-tahlil) bisa berarti “al-ma’bud” atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq.9 Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari ar-rububiyah.
Kata “rabb” dalam al-Quran disebutkan sebanyak 84 kali. Satu dalam surah al-Fatihah, satu dalam surah al-Baqarah, satu dalam surah al-Maidah, empat dalam surah al-An’am, enam dalam surah al-A’raf, satu dalam surah at-Taubah, dua dalam surah Yunus, satu dalam surah ar-Ra’d, satu dalam surah al-Isra, satu dalam surah al-Kahfi, satu dalam surah Maryam, satu dalam surah Thaha, dua dalam surah al-Anbiya, tiga dalam surah al-Mukminun, lima belas dalam surah asy-Syu’ara, empat dalam surah an-Naml, satu dalam surah al-Qashash, satu dalam surah as-Sajdah, satu dalam surah Saba, satu dalam surah Yasin, enam dalam surah ash-Shaffat, satu dalam surah Shad, satu dalam surah az-Zumar, tiga dalam surah Ghafir, satu dalam surah Fushshilat, tiga dalam surah az-Zukhruf, dua dalam surah ad-Dukhan, tiga dalam surah al-Jatsyiyah, satu dalam surah adz-Dzariyat, satu dalam surah an-Najm, dua dalam surah ar-Rahman, satu dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Hasyr, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Ma’arij, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah an-Naba, satu dalam surah at-Takwir, satu dalam surah al-Muthaffifin, satu dalam surah al-Quraisy, satu dalam surah al-Falaq, dan satu dalam surah an-Nas.10
Selain berupa kata personal Allah, ilah, dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (Asmaul Husna). Kata Asmaul Husna disebutkan empat kali dalam al-Quran, satu dalam surah al-A’raf ayat 180, satu dalam surah al-Isra ayat 110, satu dalam surah Thaha ayat 8, dan satu dalam surah al-Hasyr ayat 24.11 Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik Absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. al-Hadid [57]: 4; QS. al-A’raf [7]: 180; QS. Thaha [20]: 8; QS. al-Isra [17]: 110; dan QS. al-Hasyr [59]: 24)
الله لااله الاهو, له الاسماء الحسنى
.ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها
Menurut sebagian mufasir mutakhir, tidak ada dalil qath’i (definitif) tentang ketentuan jumlah Asmaul Husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99.12 Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (Ahsanul Asma). Semuanya adalah milik Allah Swt. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas.13
Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-Karim, ar-Raziq, dan ar-Razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunan-Nya dengan memanggil-Nya “al-Ghaffar.” Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-Hadi dan sebagainya.
Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam Ilmu Sharf mencakup ismul fa’il dan ash-shifat al-musyabbahah. Menurut Allamah Thabathaba’i, Asmaul Husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy, dan lainnya. Sedangkan kata “Allah,” adalah alam syakhshi (nama personal) atau alam adz-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.14
Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan Rabb, berjumlah 18 kali, yaitu empat dalam surah al-An’am, satu dalam surah al-Maidah, lima dalam surah al-Hajj, satu dalam surah ar-Rahman, dua dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah al-Insan, satu dalam surah Hud, dan satu dalam surah al-Naml. Jika Bismillâhirrahmânirrahîm dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang kaitkan pada Allah dan Rabb berjumlah 131.15
Ismul A’zham (nama kebesaran), menurut opini masyarakat Arab, adalah ismul lafzhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehnya, ia tidak tergolong dalam Asmaul Husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafzhul jalalah. Menurut mereka, Ismul A’zham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam basmalah itulah yang dimaksud dengan Ismul A’zham.16
Asma Allah atau Asmaul Husna kadangkala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (shifatullah). Menurut Sayid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (Asmaul Husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliyah yang mengingkari nama “ar-Rahman,” selain nama “Allah.”17
Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Nabi saw beribadah, dan dalam bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rahman.” Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi saw dalam sujudnya itu, ia berkata, “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi saw karena kaum Ahlulkitab pernah mengatakan kepada beliau, ‘Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama ar-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.’”18
Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Zat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, Baidhawi dan Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “ar-Rahman,” melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Zat (Esensi) Wujud Yang Mahamutlak itu sendiri. Sebab, suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu zat atau esensi. Jadi, Zat Yang Mahaesa itulah yang bernama “Allah” dan atau “ar-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “ar-Rahman” atau “ar-Rahim.”
Jadi yang bersifat Mahaesa itu bukanlah nama-Nya, melainkan Zat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, Baidhawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid adz-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).19
Pandangan ketuhanan yang sangat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam Sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam, “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh,” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tauhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku ilmu.” Imam Ja’far Shadiq as menyambung, “Bagi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, ada sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu tuhan. Tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung adalah suatu Makna (Esensi) yang dirujuk oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”20
Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Imam Ja’far Shadiq as itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Quran memang tidak tergambarkan, dan tidak sebanding dengan apa pun. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib ra mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita, dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.21
Dan Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.’”[]
Catatan Kaki:
1. M. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran, hal. 62-63, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.
2. Dalam kaidah gramatika Arab, tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-‘Alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam.
3. Op.Cit., Muhammad Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.96, Istanbul.
4. Summa Theologica, Ia, q. 2, a.l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, hal. 141, Pustaka Filsafat.
5. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif al-Quran, vol.1, hal.26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987.
6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 963, Balai Pustaka.
7. Yaitu sebanyak 107 kali dalam QS. al-Baqarah, 116 kali dalam QS. Ali Imran, 32 kali dalam QS. an-Nisa, 38 kali dalam QS. al-Maidah, 41 kali dalam QS. al-An’am, 6 kali dalam QS. al-A’raf, 35 kali dalam QS. al-Anfal, 67 kali dalan QS. at-Taubah, 20 kali dalam QS. Yunus, 5 kali dalam QS. Hud, 28 kali dalam QS. Yusuf, 1 kali dalam QS. ar-Ra’d, 10 kali dalam QS. Ibrahim, 29 kali dalam QS. an-Nahl, 3 kali dalam QS. al-Isra, 8 kali dalam QS. al-Kahfi, 2 kali dalam QS. Maryam, 5 kali dalam QS. Thaha, 1 kali dalam QS. al-Anbiya, 15 kali dalam QS. al-Hajj, 4 kali dalam QS. al-Mukminun, 37 kali dalam QS. an-Nur, 4 kali dalam QS. ar-Furqan, 7 kali dalam QS. an-Naml, 9 kali dalam QS. al-Qashash, 13 kali dalam QS. al-Ankabut, 9 kali dalam QS. ar-Rum, 3 kali dalam QS. Lukman, 1 kali dalam QS. as-Sajdah, 34 kali dalam QS. al-Ahzab, 2 kali dalam QS. as-Saba, 7 kali dalam QS. Fathir, 2 kali dalam QS. Yasin, 4 kali dalam QS. ash-Shaffat, 1 kali dalam QS. Shad, 24 kali dalam QS. az-Zumar, 18 kali dalam QS. Ghafir, 2 kali dalam QS. Fushshilat, 19 kali dalam QS. Syura, 1 kali dalam QS. az-Zukhruf, 1 kali dalam QS. ad-Dukhan, 6 kali dalam QS. al-Jastiyaah, 1 kali dalam QS. al-Ahqaf, 15 kali dalam QS. Muhammad, 21 kali dalam QS. al-Fath, 7 kali dalam QS. al-Hujurat, 1 kali dalam QS. at-Thur, 2 kali dalam QS. an-Najm, 8 kali dalam QS. al-Hadid, 18 kali dalam QS. al-Mujadalah, 9 kali dalam QS. al-Hasyr, 9 kali dalam QS. al-Mumtahanah, 1 kali dalam QS. ash-Shaf, 4 kali dalam QS. al-Jumu’ah, 6 kali dalam QS. al-Munafiqun, 9 kali dalam QS. at-Taghabun, 8 kali dalam QS. ath-Thalaq, 8 kali dalam QS. at-Tahrim, 2 kali dalam QS. al-Mulk, 3 kali dalam QS. Nuh, 1 kali dalam QS. al-Jinn, 1 kali dalam QS. al-Muzzammil, 3 kali dalam QS. al-Muddatstsir, 2 kali dalam QS. al-Insan, 1 kali dalam QS. an-Nazi’at, 1 kali dalam QS. at-Takwir, 1 kali dalam QS. al-Insyiqaq, 2 kali dalam QS. al-Buruj, 1 kali dalam QS. al-Ghasyiyah, 1 kali dalam QS. at-Tin, 1 kali dalam QS. al-Bayyinah, dan 1 kali dalam QS. al-Ikhlas.
8. Empat kali dalam QS. al-Baqarah, lima kali dalam QS. Ali Imran, dua kali dalam QS. an-Nisa, dua kali dalam QS. al-Maidah, empat kali dalam QS. al-An’am, lima kali dalam QS. al-A’raf, dua kali dalam QS. at-Taubah, satu kali dalam QS. Yunus, empat kali dalam QS. Hud, satu kali dalam QS. ar-Ra’d, satu kali dalam QS. Ibrahim, tiga kali dalam QS. al-Nahl, satu kali dalam QS. al-Kahfi, satu kali dalam QS. Thaha, empat kali dalam QS. al-Anbiya, satu kali dalam QS. al-Hajj, lima kali dalam QS. al-Mukminun, enam kali dalam al-Nahl, enam kali dalam QS. al-Qashash, satu kali dalam QS. Fathir, satu kali dalam QS. ash-Shaffat, satu kali dalam QS. Shad, satu kali dalam QS. az-Zumar, empat kali dalam QS. Ghafir, satu kali dalam QS. Fushshilat, dua kali dalam QS. az-Zukhruf, satu kali dalam QS. ad-Dukhan, satu kali dalam QS. Muhammad, satu kali dalam QS. ath-Thur, dua kali dalam QS. al-Hasyr, satu kali dalam QS. at-Taghabun, satu kali dalam QS. al-Muzzamil, dan satu kali dalam QS. an-Nas.
9. M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, vol.14, hal.122, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.
10. Ibid., hal.362-365.
11. Ibid., hal.459.
12.Lihat, ad-Durrul Manstur; al-Mustadrak; Sunan Thabarani; dan Sunan Baihaqi.
13. Berdasarkan pendapat ini, jumlah Asmaul Husna yang dapat ditemukan dalam al-Quran sebanyak 127, yaitu: al-Ilah, al-Ahad, al-Awwal, al-Akhir, al-A’la, al-Akram, al-A’lam, ar-Rahman ar-Rahimin, Ahkam al-Hakimin, Ahsan al-Khaliqin, Ahl at-Taqwa, Ahl al-Maghfirah, at-Tawwab, al-Jabbar, al-Jami’, al-Hakim, al-Halim, al-Hayy, al-Haq, al-Hamîd, al-Hasîb, al-Hafîzh, al-Khafi, al-Khabir, al-Khaliq, al-Khallaq, al-Khair, Khair al-Hakimin, Khair al-Makirin, Khair ar-Raziqin, Khair al-Fashilin, Khair al-Fatihin, Khair al-Ghafirin, Khair al-Waritsin, Kahir ar-Rahimin, Khair al-Munzilin, Dzu al-‘Arsy, Dzu ath-Thaul, Dzu al-Intiqam, Dzu al-Fadhl al-Azhim, Dzu ar-Rahmah, Dzu al-Quwwah, Dzu al-Jalal wa al-Ikram, Dzu al-Ma’arij, ar-Rahman, ar-Ra’uf, ar-Rabb, ar-Rafi’ ad-Darajat, ar-Razzaq, ar-Raqib, as-Sami’, as-Salam, as-Sari’ al-Hisab, Sari’ al-‘Iqab, asy-Syahid, asy-Syakir, asy-Syakur, Syadid al-‘Iqab, Syadid al-Mihal, ash-Shamad, azh-Zhahir, al-‘Alim, al-Aziz, al-‘Afwu, al-‘Aliy, al-‘Azhim, ‘Allam al-Ghuyub, ‘Alim al-Ghayb wa asy-Syahadah, al-Ghaniy, al-Ghafur, al-Ghalib, Ghafir adz-Dzam, al-Ghaffar, Faliq al-Ishbah, Faliq al-Habb wa an-Nawa, al-Fathir, al-Fattah, al-Qawiy, al-Quddus, al-Qayyum, al-Qahir, al-Qahhar, al-Qarib, al-Qâdir, al-Qadîr, Qabil at-Tawb, al-Qa’im ‘ala Kulli Nafs bima Kasabat, al-Kabir, al-Karim, al-Kafi, al-Lathif, al-Malik, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Mutakabbir, al-Mushawwir, al-Majîd, al-Mujib, al-Mubin, al-Mawla, al-Muhith, al-Muqit, al-Muta’al, al-Muhyi, al-Mutabayyin, al-Mutaqaddir, al-Musta’an, al-Mubdiy’, Malik al-Mulk, al-Nashîr, an-Nur, al-Wahhab, al-Wahid, al-Walîy, al-Wâliy, al-Wasiy’, al-Wakil, al-Wadud, al-Hadiy. Lihat, al-Mu’jam al-mufahras, vol.8, hal.361-363.
14. Ibid., hal.124.
15. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.459, Istanbul.
16. M.H. Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol.8, hal.359, Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, Beirut, 1991.
17. QS. al-Isra [17]: 110.
18. Sayid Quthub, Fi Zhilal al-Quran, jil.5, juz.15, hal.73, Dar asy-Syuruq, Kairo, 1987.
19. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil; Zamaksyari, al-Kasysyaf; Bagdadi, Tafsir al-Khazin; dan Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, dan lain-lain.
20. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib ra, menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].
21. Ibid.
Labels: Teologi Dan Filsafat
Agama dan Kosmologi
Kosmologi yang benar adalah fondasi yang harus dibangun oleh setiap insan beragama. Dengan metode epistemologis apakah kosmologi ini bisa dibangun? Mungkinkah pengetahuan empiris dapat memecahkan masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah posisi tasawuf dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia?
Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan sesederhana mungkin.Definisi Agama
Berbicara soal agama, tidak bisa tidak kita harus memahami terlebih dahulu definisi agama. Dalam bahasa Arab agama disebut Din yang secara bahasa berarti ‘ketataan’, ‘pahala’, dan sebagainya. Dalam istilah, Din berarti ‘keyakinan kepada Sang Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran amaliah yang sesuai dengan keyakinan ini’. Atas dasar ini, orang yang tidak meyakini adanya Sang Pencipta dan menganggap segala fenomena alam ini sebagai kejadian spontan atau semata-mata terjadi karena interaksi alam natural disebut sebagai orang yang tidak beragama (ateis). Sebaliknya, orang yang meyakini adanya Sang Pencipta semesta alam disebut sebagai orang yang beragama, sekalipun keyakinannya atau ritus-ritus agamanya mengalami penyimpangan dan khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi hak dan batil.
Agama yang hak adalah agama yang mengandung keyakinan yang sesuai dengan kenyataan serta membawa petunjuk kepada perilaku-perilaku yang memiliki jaminan yang valid untuk menggapai kebenaran.
Ushul dan Furu’
Dengan pengertian terminologis agama tadi, jelaslah bahwa agama setidaknya terdiri dari dua elemen. Pertama, akidah atau keyakinan-keyakinan yang dilandasi dengan prinsip dan dasar yang valid. Kedua, hukum atau perintah-perintah amaliah yang sesuai dengan dasar-dasar akidah. Dengan demikian, tepatlah kiranya jika elemen akidah setiap agama disebut ushul (‘pokok-pokok’) sedangkan elemen hukum amaliahnya disebut furu’ (‘cabang’). Dua istilah ini oleh para ulama Islam juga lazim disebut akidah Islam dan hukum Islam.
Kosmologi dan Ideologi
Makna Istilah kosmologi dan ideologi tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Makna kosmologi antara lain ialah serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan makna ideologi antara lain ialah serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai perilaku manusia.
Sesuai dua pengertian di atas, bisa dikatakan bahwa rangkaian akidah dan ushul setiap agama adalah kosmologi agama itu sendiri, sementara sistem universal hukum-hukum amaliahnya adalah ideologinya, dan keduanya diterapkan sesuai dengan ushul dan furu’ agama ini. Patut diingat bahwa istilah ideologi tidak mencakup hukum-hukum parsial sebagaimana kosmologi juga tidak mencakup keyakinan-keyakinan parsial. Selain itu, kata ideologi juga sering diterapkan pada pengertian umum yang mencakup kosmologi.
Kosmologi Teisme dan Kosmologi Materialisme
Di tengah umat manusia, terdapat aneka ragam kosmologi. Toh demikian, dengan pertimbangan diterima atau tidaknya alam immateri atau supranatural, semuanya bisa dibagi dalam dikotomi kosmologi ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme. Penganut kosmologi materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis) sedangkan sekarang lazim disebut materialis. Ada banyak paham yang membidani lahirnya materialisme, dan di antaranya yang paling termashur ialah Materialisme Dialektik yang menjadi elemen filosofis ajaran Marxisme.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa penerapan istilah kosmologi lebih luas daripada istilah keyakinan atau akidah agama, karena kosmologi juga meliputi paham-paham ateisme dan materialisme sementara akidah agama tidak mencakupnya. Ini serupa dengan istilah ideologi yang sebenarnya hanya mencakup rangkaian hukum-hukum agama.
Agama Samawi dan Ushul-nya
Tentang proses munculnya berbagai agama, para ahli sejarah dan sosiolog agama berbeda pendapat. Namun, berdasarkan apa yang bisa dipahami dari teks-teks keislaman (nash), agama muncul sejak manusia itu ada. Manusia pertama adalah Adam as yang merupakan nabi penyeru Tauhid (monoteisme), sedangkan keberadaan agama-agama yang mengandung paham-paham syirik (politeisme) tak lain adalah akibat penyelewengan, distorsi, dan tendensi-tendensi individual maupun kelompok.
Agama-agama monoteisme yang merupakan agama samawi dan hakiki memiliki tiga prinsip universal yang kolektif: [1] keyakinan kepada Tuhan Yang Esa; [2] keyakinan kepada kehidupan yang abadi untuk setiap manusia di alam akhirat serta ganjaran dan pahala untuk setiap perbuatannya ketika hidup di alam dunia; [3] keyakinan kepada pengutusan para nabi oleh Allah Swt untuk menuntun umat manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tiga prinsip ini pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa pertanyaan fundamental bagi setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa dan siapakah kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? Apakah akhir dari kehidupan ini? Dan apakah yang bisa dijadikan sebagai jalur terbaik untuk menjalani program hidup? Adapun kandungan program yang dapat dipelajari dari jalur wahyu yang terjamin kebenarannya tak lain ialah ideologi religius yang terbangun berlandaskan kosmologi teisme.
Keyakinan-keyakinan prinsipal memiliki berbagai konsekuensi, korelasi, akses, dan rincian-rincian yang keseluruhannya membentuk konstelasi keyakinan religius. Perselisihan dalam hal-hal inilah yang menumbuh-kembangkan berbagai aliran keagamaan, mazhab, dan sekte. Perselisihan mengenai status kenabian sebagian nabi serta penentuan kitab suci yang valid, misalnya, telah memicu perselisihan antara agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Perselisihan ini kemudian membawa akses berupa perselisihan-perselihan lain dalam keyakinan dan tradisi yang sebagian di antaranya tidak sejalan dengan keyakinan-keyakinan prinsipal. Contohnya adalah keyakinan trinitas dalam agama Kristen yang jelas-jelas berseberangan dengan paham monoteisme, walaupun umat Kristiani tetap berusaha mengemas keyakinan trinitas ini dengan penjelasan-penjelasannya sendiri. Islam pun, umat Nabi Besar Muhammad saw, juga terpecah menjadi Ahlusunnah dan Syiah akibat perselisihan mengenai mekanisme penentuan para pengganti Rasulullah saw. Syiah meyakini bahwa yang berhak menentukannya hanyalah Allah Swt, sementara Ahlusunnah meyakini bahwa yang menentukannya adalah umat Islam sendiri.
Alhasil, Tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan adalah keyakinan yang paling fundamental dan prinsipal dalam semua ajaran agama samawi.
Masalah Masalah Prinsipal Kosmologis
Ketika manusia berniat memecahkan berbagai persoalan fundamental kosmologis dan mengenal ushuluddin yang benar, pertanyaan yang pertama kali mencuat ialah apakah jalan pemecahan masalah-masalah ini? Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang fundamental bisa diserap dengan benar? Di tengah berbagai metode yang ada, metode manakah yang valid untuk memperoleh pengatahuan-pengetahuan ini?
Semua pertanyaan ini dibahas secara rinci dalam epistemologi, yaitu satu disiplin ilmu yang menganalisis dan mengevaluasi berbagai pengetahuan dan metode penalaran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita di sini akan membicarakan masalah ini sekedarnya.
Berbagai Jenis Pengetahuan
Dari satu aspek tertentu, pengetahuan-pengetahuan manusia bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori:
Pertama, pengetahuan empiris. Pengetahuan ini diperoleh manusia dengan mengandalkan organ-organ inderawi, kendati akal juga berperan dalam eksepsi dan generalisasi pengetahuan-pengetahuan empiris. Pengetahuan empiris difungsikan dalam ilmu-ilmu empiris, semisal kimia, fisika, dan biologi.
Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan ini dibentuk oleh konsepsi-konsepsi yang diserap oleh akal pikiran. Dalam pengetahuan ini, peranan akal sangat fundamental kendati adakalanya persepsi-persepsi empiris masih digunakan sebagai sumber serapan konsepsi atau digunakan sebagai bagian dari premis dalam silogisme. Ruang gerak pengetahuan ini meliputi ilmu logika, ilmu filsafat, dan ilmu matematika.
Ketiga, pengetahuan yang diterima begitu saja (ta’abbudi). Pengetahuan ini memiliki aspek sekunder dengan pengertian bahwa ilmu ini didapat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah dibuktikan sebagai sumber yang valid dan punya otoritas. Dengan kata lain, pengetahuan ini diperoleh dari berita yang disampaikan oleh pembawa kabar yang terbukti bisa dipercaya. Contoh konkretnya adalah pengetahuan yang diperoleh para penganut agama dari pemuka agamanya. Pengetahuan ini adakalanya membentuk keyakinan yang jauh lebih kuat daripada keyakinan-keyakinan yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman empiris.
Keempat, pengetahuan intuitif (syuhudi). Tak seperti tiga kategori pengetahuan di atas, pengetahuan ini bersentuhan langsung dengan objeknya tanpa perantara gambaran subjektif. Karena itu, ilmu atau pengetahuan ini tidak mungkin salah. Namun demikian, apa yang biasanya diklaim sebagai ilmu syuhudi atau irfani pada hakikatnya adalah interpretasi subjektif dari sesuatu yang telah disaksikan. Interpretasi inilah yang bisa salah.
Berbagai Jenis Kosmologi
Berdasarkan klasifikasi di atas, kosmologi bisa dibagi ke dalam empat bagian sebagai berikut:
Pertama, kosmologi ilmiah. Maksudnya ialah manusia membangun kosmologi universalnya mengenai alam semesta berdasarkan hasil-hasil ilmu pengetahuan empiris.
Kedua, kosmologi filosofis yang dicapai melalui proses argumentasi-argumentasi rasional.
Ketiga, kosmologi yang diperoleh melalui keimanan kepada para pemimpin agama sehingga semua kata-kata mereka diyakini sebagai kebenaran.
Keempat, kosmologi irfani yang diperoleh melalui jalur intuisi atau mukasyafah, syuhud, dan isyraq.
Pertanyaannya sekarang ialah apakah semua masalah fundamental kosmologis bisa dipecahkan secara seimbang melalui semua bagian kosmologi di atas? Ataukah ada satu di antaranya yang harus diprioritaskan di atas yang lain?
Evaluasi dan Tinjauan Kritis
Seperti diketahui, ruang gerak pengetahuan empiris hanya terbatas pada fenomena-fenomena alam materi. Maka dari itu, hasil-hasil ilmu empiris tidak bisa mengenal fondasi-fondasi kosmologi dan menyelesaikan masalah-masalah kosmologis yang letaknya berada di luar peta ilmu pengetahuan empiris. Ilmu empiris tidak bisa menetapkan atau menafikannya. Hasil-hasil riset di laboratorium, misalnya, tidak akan bisa mengkonfirmasikan atau menolak keberadaan Tuhan. Ini tak lain karena pengalaman empiris sama sekali tidak akan bisa menjangkau alam immateri, dan oleh sebab itu pengalaman ini jelas tidak akan bisa menetapkan atau menafikan sesuatu yang berada di luar zona alam materi.
Dengan demikian, kosmologi empiris lebih menyerupai fatamorgana. Karenanya, kata-kata kosmologi dalam pengertian yang sebenarnya tidak bisa diterapkan pada pandangan-pandangan universal empiris. Kita hanya bisa menyebutnya sebagai “ilmu pengetahuan alam materi”. Jadi, ilmu ini tidak akan bisa menjawab berbagai persoalan prinsipal menyangkut kosmologi.
Pengetahuan-pengetahuan ta’abbudi juga demikian. Sebagaimana yang dijelaskan tadi, pengetahuan ta’abbudi bersifat sekunder dalam pengertian bahwa pengetahuan ini bisa diyakini setelah sumbernya terlebih dahulu bisa dibuktikan valid. Jadi, sebelumnya harus bisa dibuktikan kenabian seseorang yang menjadi narasumber pengetahuan itu. Sebelum ini pun, harus pula dibuktikan keberadaan Tuhan, Zat yang mengutus nabi untuk membawa kabar (baca: pengetahuan). Dan keberadaan Pengutus nabi serta kenabian orang yang diutus-Nya jelas tidak bisa dibuktikan dengan pesan (baca: pengetahuan) yang dibawa oleh nabi. Misalnya, keberadaan Tuhan tidak bisa kita buktikan dengan pernyataan Al-Quran, “Tuhan itu ada.” Dengan demikian, metode ta’abbudi juga tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah prinsipal kosmologis.
Adapun berkenaan dengan motode irfani, syuhudi, intiusi, atau yang juga disebut mistis kita perlu memberikan penjelasan secara agak detail melalui beberapa poin sebagai berikut:
Pertama, kosmologi adalah pengetahuan yang terdiri dari konsepsi-konsepsi subjektif (mafahim dzihniah), sementara dalam intuisi sama sekali tidak ada mafahim dzihniah.
Kedua, untuk menjelaskan dan menginterpretasi apa yang diketahui seseorang dengan jalan intuisi sangatlah memerlukan kepiawaian yang besar dalam berpikir, dan ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan latar belakang jerih payah berpikir dan analisis-analisis filosofis yang panjang. Jika tidak, maka seseorang yang mengalami intuisi akan terjebak pada penggunaan kata-kata yang ambigu sehingga bisa menjadi penyebab timbulnya kesesatan dan penyelewengan.
Ketiga, dalam banyak kasus, hakikat yang diketahui seseorang melalui intuisi bisa mengundang kebingungan bagi orang ini sendiri manakala dia mencoba memberikan refleksi dan interpretasi subjektif.
Keempat, diketahuinya hakikat-hakikat, yang setelah diinterpretasikan oleh pikiran bisa kita sebut kosmologi, bergantung kepada proses penempuhan jalan suluk, sedangkan penerimaan metode suluk ini sendiri juga memerlukan teori-teori dasar dan masalah-masalah prinsipal dalam kosmologi. Jadi, masalah-masalah ini harus terpecahkan terlebih dahulu sebelum dimulainya perjalanan suluk, sedangkan pengetahuan-pengetahuan intiusi berada pada tahap yang paling akhir. Suluk, irfan, atau yang disebut tasawuf hanya akan bisa dialami oleh seseorang jika dia benar-benar ikhlas berusaha menempuh jalan Allah Swt, dan usaha ini hanya bisa ditempuh oleh yang orang yang memiliki pengetahuan sebelumnya tentang Allah dan jalan pengabdian kepada-Nya.
Kesimpulan
Setelah semua metode di atas terbukti tidak bisa difungsikan dalam penyelesaian masalah-masalah prinsipal kosmologis, maka tinggallah satu jalan yang bisa dijadikan alternatif, dan itu ialah jalan penalaran rasional. Dengan begitu, maka kosmologi yang valid dan realistis ialah kosmologi filosofis.
Sungguh pun demikian, ini bukan berarti bahwa untuk menemukan kosmologi yang benar, semua persoalan filosofis harus bisa dipecahkan. Sebaliknya, pemecahan beberapa persoalan filosofis yang sederhana dan mendekati aksiomatis sudah cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang merupakan masalah paling fundamental dalam kosmologi. Selain itu, menjadikan metode penalaran rasional (ta’aqqul) sebagai satu-satunya alternatif bukan berarti bahwa metode-metode lain tidak bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kosmologis, karena banyak sekali argumentasi-argumentasi rasional yang bisa dikemukakan melalui premis-premis yang didapat dari ilmu-ilmu empiris dan lain sebagainya.[irib]
Artikel ini disadur dari buku “Amuzashe Aqaid” yang ditulis Ayatullah Misbah Yazdi untuk para pelajar pemula akidah.
Labels: Teologi Dan Filsafat
TEOLOGI BARU DAN KEADILAN
Keadilan mengandung keseluruhan kebajikan dan menandakan konformitas utuh dengan patron perilaku moral yang diakui. Untuk tujuan analisis rasional para filosof klasik, mengikuti Aristoteles, memilih untuk menekankan referensi istilah kepada kebajikan khusus, membedakan misalnya antara keadilan dan persamaan atau antara keadilan dan kebaikan.
Dalam Republic, keadilan mengatur serta menyeimbangkan kebajikan-kebajikan lain. Fungsi-fungsinya adalah untuk memperoleh keharmonisan dan untuk memelihara keseimbangan. Keadilan berasal dari setiap elemen dalam masyarakat dalam melakukan tugas yang tepat. Untuk berpaling dari dualisme Plato, yang akan berperan untuk mengangkat keadilan dan mencela hukum positif, Aristoteles menganggap keadilan sebagai imanen dalam hukum yang bekerja dan dengan demikian memberinya suatu fungsi yang nyata-nyata lebih efektif. Karena imanen, keadilan pada prinsipnya menimbulkan antitesis dan ketegangan yang sulit, adalah kepada kepercayaan abadi Aristoteles yang tidak seperti sebagian para pendahulunya, ia secara jujur meninggalkan masalah yang belum dapat dipecahkan itu. Kant dan muridnya telah menguraikan konsep keadilan hanya secara sepintas setelah memberikan suatu definisi positivistik dengan sederhana tentang "adil" dan "zalim" dalam Metaphysics of Morals. Hume concern dengan sebagian besar koherensi dan konsisensi moral dan dipuaskan dengan memperoleh keadilan dalam pelayanannya dengan menyerahkan bahwa "manfaat publik adalah satu-satunya asal keadilan."1Tidak seperti Saint Simon dan para teoretisi sosial lainnya dan tidak sebagaimana para murid mereka sendiri, Marx dan Engels tidak memberi ruang bagi "keadilan" dalam analisis mereka tentang relasi-relasi ekonomi. Seperti Bentham, mengabaikan istilah tersebut, menganggapnya sebagai topeng semata-mata bagi eksploitasi kapitalis dan kemunafikan.2
Kaum sosialis menisbatkan kezaliman dalam masyarakat kepada individualisme yang merajalela yang bertanggung jawab terhadap munculnya ketidakadilan sosial dan degradasi massa manusia. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa kegagalan individualisme memaksa penyesuaian dari satu-satunya sistem alternatif, sosialisme. Bahkan penulis Socialism memegang keyakinan bahwa "sosialisme telah memasuki dunia karena kezaliman."3 Namun sosialisme juga, dengan menyangkal eksistensi individual, gagal untuk menegakkan kesempatan keadilan yang sama dan perlindungan hak-hak dan kebebasan yang setara. Oleh karenanya, sosialisme melahirkan kepada suatu kelas baru di negeri-negeri sosialis.4 Dalam bukunya The Open Society and Its Enemies (II), Karl Popper juga memprediksikan kelahiran kelas baru di negeri-negeri sosialis.
Pengarang Democracy Versus Socialism menerangkan perbedaan etis yang esensial antara dua sistem sosial ini sebagai berikut :
Sosialisme, yang menolak eksistensi hak-hak alamiah individual, muncul guna merekonstruksi masyarakat dalam arah yang berlawanan menuju evolusi masa lalunya; untuk menundukkan individu secara absolut kepada negara; untuk menekannya atas hak-hak persamaannya dengan yang lain dalan menjalankan fakultas industrialnya sebagaimana ia kehendaki dan memaksanya untuk melakukannya dalam cara, waktu, dan tempat tertentu sebagaimana ia diarahkan; menyia-nyiakan haknya untuk memperoleh keuntungan dengan perbuatan-perbuatannya sendiri yang bermanfaat; dan menyerahkan kepadanya balasan yang tidak mengikat referensi kepada pelayanan yang dilakukan olehnya. Individualisme mengafirmasi eksistensi persamaan, hak-hak alamiah individu, mencari evolusi yang lebih jauh dari masyarakat dalam arah evolusi masa lalunya sampai masyarakat akan menjadi sepenuhnya patuh kepada kesejahteraan dari individu-individu yang menyusunnya; mencoba untuk memperoleh kesejahteraan umum melalui penghapusan atas infraksi-infraksi yang tersisa pada hak-hak alami dan sama dari semua individu. Kebebasan dari masing-masing untuk menggunakan seluruh fakultasnya sebaimana ia ingin sediakan ia langgar bukan kebebasan setara dari yang lainnya; hak masing-masing untuk kesempatan paling utuh untuk penggunaan fakultasnya, terbatas hanya kepada hak-hak yang sama dari yang lainnya; dan hak yang tidak terbatas dari masing-masing untuk memperoleh keuntungan dengan perbuatan yang menguntungkannya sendiri, balasan yang disediakan atas tindakan pelayanan.5
Namun kepemilikan pribadi dan monopoli dalam kapitalisme menolak mayoritas manusia atas keuntungan yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan mereka dan mereduksi balasan mereka ke bawah nilai pelayanan yang mereka lakukan. Individualisme juga gagal untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan bagi mayoritas manusia.
Muthahhari, sebagai pelopor dari teologi baru,* dalam bukunya yang bertajuk 'Adl-e Ilâhi (Divine Justice) [sudah diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Keadilan Ilahi -pen.] dan Barrasi-ye ijmâlî-ye mabânî-yi iqtishâd-e Islâmî (Telaah Ringkas atas Dasar-dasar Ekonomi Islam) telah menyorot tema keadilan dan keadilan sosial. Dalam bagian pertama Divine Justice, ia mendiskusikan secara mendetail gagasan keadilan dari sudut pandang dua mazhab teologi, yakni Asy'ariyyah dan Mu'tazilah. Dalam bukunya, Barrasî-ye ijmâlî-ye mabânî-ye iqtishâd-e Islâmi, ia berusaha menguraikan konsep keadilan sosial dari sudut pandang Islam. Menurut Muthahhari, penolakan atau penyangkalan prinsip-prinsip keadilan memainkan suatu peranan penting dalam perkembangan filsafat sosial di dunia Muslim. Berkaitan dengan kepentingan tema keadilan sosial, Muthahhari mengatakan :
Pertama, saya akan mengawali dengan mendiskusikan tema keadilan untuk menjelaskan pengaruh keadilan terhadap prinsip keadilan sosial; kedua, penolakan prinsip keadilan, dan pengaruh negatifnya kurang lebih dalam pemikiran kita, merupakan sebab utama dari merosotnya keadilan sosial dalam Islam yang telah dapat dikembangkan dengan pijakan ilmiah dan argumentasi rasional dan telah menjadi prinsip penunjuk dalam yurisprudensi. Sebagai akibatnya, suatu jenis yurisprudensi muncul yang sekarang ini tidak konsisten dengan tetapnya prinsip-prinsip Islam dan tidak mempunyai jaminan pijakan untuk filsafat sosial. Jika ada yang telah memunculkan kebebasan pemikiran (dalam dunia Islam) dan jika kaum tradisionalis (ashâb al-sunnah) tidak memerlukan dominasi di atas para pembela keadilan (ahl al-'adl), dan jika Syi'ah tidak mempunyai akhbârigari, maka niscaya kita mempunyai filsafat sosial yang dikodifikasi dan yurisprudensi kita juga niscaya disandarkan atasnya, dan kita tidak akan ditenggelamkan ke dalam kontradiksi-kontradiksi dan kematian.6
Pandangan Asy'ariyyah dan Mu'tazilah tentang Keadilan dalam Karya-karya Muthahhari
Dalam bukunya, Asynâ'I bâ 'ulûm-e Islâmî (Suatu Pengantar kepada Ilmu-ilmu Islam), Muthahhari memandang bahwa sebenarnya tak satupun mazhab-mazhab Islam yang menolak keadilan sebagai salah satu sifat Ketuhanan. Tak satupun yang pernah mengklaim bahwa Tuhan itu zalim. Perbedaan antara Mu'tazilah dengan penentang-penentang mereka adalah mengenai interpretasi keadilan. Kalangan Asy'ariyah menafsirkan dengan sedemikian rupa yang maksudnya, dalam pandangan Mu'tazilah, nyaris merupakan suatu penyangkalan Sifat Keadilan. Akan tetapi, Asy'ariyah sendiri tidak bermaksud untuk dianggap sebagai para penentang keadilan.
Mu'tazilah percaya bahwa beberapa perbuatan pada prinsipnya "adil" dan sebagian lagi secara intrinsik "zalim". Umpamanya, memberi pahala kepada yang taat dan menghukum kepada pendosa adalah keadilan; dan Allah harus memberikan pahala kepada yang taat dan menghukum pendosa, dan mustahil bagi-Nya untuk berbuat sebaliknya. Memberi pahala kepada yang taat dan menghukum yang taat pada prinsipnya dan secara intrinsik adalah zalim, dan mustahil bagi Tuhan untuk melakukan perbuatan semacam itu. Dengan cara yang sama, memaksa kepada makhluk-makhluk-Nya untuk berbuat dosa, atau menciptakan makhluk tanpa kekuatan untuk melakukan kebaikan, pada saat yang sama menciptakan perbuatan-perbuatan dosa dari para pendosa dan kemudian menghukum mereka karena dosa-dosa mereka, yang berada di balik kekuatan mereka, tidak lain merupakan kezaliman, suatu hal yang buruk bagi Tuhan untuk melakukannya; itu tidak dapat dibenarkan dan tercela.7
Akan tetapi, Asy'ariyah percaya bahwa tidak ada perbuatang yang secara intrinsik ataupun secara prinsip adil ataupun zalim. Keadilan pada prinsipnya apapun yang Tuhan lakukan. Jika seakan-akan Tuhan menghukum yang taat dan memberi pahala kepada pendosa, niscaya itu merupakan hal yang adil. Dengan cara yang sama, jika Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya tanpa kehendak apapun, kekuatan ataupun kebebasan tindakan, dan kemudian jika Ia menyebabkan mereka berbuat dosa dan menghukum mereka karena itu, ia bukan kezaliman esensial. Jika kita mengira bahwa Tuhan berbuat dengan cara ini, maka itu adil. Dengan demikian, menurut Asy'ariyah, keadilan ditentukan semata-mata oleh Kehendak dan Perbuatan Allah.
Dalam bukunya, The Philosophy of the Kalâm, H.A. Wolfson juga berpendapat bahwa karena ketegasan mereka (Mu'tazilah) atas kehendak bebas didukung oleh mereka dengan pijakan konsepsi khusus mereka tentang Keadilan Ilahi, dan penyangkalan mereka akan eksistensi terpisah Sifat-sifat Ilahi didukung oleh mereka dengan pijakan konsepsi khusus mereka tentang tauhid, maka Mu'tazilah dijuluki sebagai "para pembela keadilan dan tauhid" (ashhâb al-'adl wa al-tawhîd).8
Teologi Syi'I :
:
Dalam iman Syi'ah, prinsip Keadilah Ilahi dinilai sebagai sala satu dari lima doktrin pokok. Menurut prinsip ini, keadilan merupakan Sifat Allah, yang identik dengan Zat-Nya. Adalah Allah yang adalah Pembuat hukum keadilan. Dalam hal ini, jika Allah menyertakan hukum-Nya sendiri, ini tidak dalam pengertian pembatasan Kekuasaan-Nya.Berdasarkan doktrin ini, mereka mengatakan bahwa menurut Keadilan Ilahi manusia semestinya bebas dan mampu berbuat berdasarkan kehendaknya, sebaliknya jika manusia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya, dan akibatnya, ia tidak diberi pahala maupun dihukum. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa jika Allah tidak memberikan pahala kebajikan dan tidak menghukum kejahatan, berarti Ia zalim, yang itu adalah mustahil.
Dalam doktrin Syi'ah, kebebasan manusia merupakan konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi. Syi'ah, sebagaimana sebagian dari Asy'ariyah dan Mu'tazilah, berpendapat bahwa perbuatan manusia terdiri dari dua jenis : refleksif yakni tidak sengaja, dan dikehendaki atau dipilih. Tidak ada perselisihan berkaitan dengan perbuatan refleksif, karena perbuatan itu sifatnya instinktif dan manusia tidak mempunyai kendali atasnya. Namun, perbuatan yang dipilih manusia untuk dilakukan merupakan perbuatan sengaja. Dalam hal ini, manusia bisa berbuat dengan dua cara, karena ia bisa memilih di antara benar dan salah, baik dan buruk. Kita telah melihat bahwa Mu'tazilah percaya akan kebebasan total manusia berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sengaja. Kebebasan ini disebut qadar atau tafwidh. Istilah tafwidh bermakna 'pendelegasian' atau 'pelimpahan wewenang'. Menurut sebagian Mu'tazilah, Allah telah mendeelagasikan kekuasaan kepada manusia dalam melakukan perbuatan baik ataupun jahat. Ini artinya bahwa kekuasaan selalu bersama manusia. Di pihak lain, murid Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, Abu Bakar Al-Bâqillâni, seorang Mu'tazilah belakangan, percaya bahwa kekuasaan makhluk semata-mata Sifat Ilahi yang milik Tuhan, dan Dia adalah Pencipta segala jenis perbuatan. Tuhanlah satu-satunya yang memberikan kekuatan kepada manusia guna memilih antara perbuatan baik dan buruk, benar dan salah. Manusia hanya mempunyai kekuasaan yang terbatas. Doktrin ini disebut doktrin 'kasb'. Dengan cara ini, Mu'taziladh dan Asy'ariyah mengambil dua posisi yang ekstrem, sementara Syi'ah, menurut ajaran para Imam dari Keluarga Nabi, mengambil posisi tengah. Dalam konteks ini, Imam Ja'far Al-Shadiq (as.) berkata : Tidak ada determinisme ataupun kebebasan (mutlak), tetapi suatu kedudukan tengah-tengah.9
Dalam Ushûl Al-Kâfi, dalam kitâb al-tawhîd, ada bagian yang berjudul al-jabr wa al-qadar wa al-'amr bayn al-'amrayn. Penerjemah dan pensyarah Persia, Sayyid Jawâd Mushthafawi, telah mendefinisikan qadar sebagai sinonim dengan bahasa Arab lain yakni tafwîdh. Setelah menjelaskan doktrin determinisme dan kehendak bebas manusia, ia menulis :
Doktrin kebebasan atau 'amr bayn al-'amrayn (perkara di antara dua perkara) membentuk kandungan dari seluruh hadis yang diriwayatkan di bagian ini dan semua hadis yang sampai kepada kita melalui para Imam Ahlul Bait. Dalam semua hadis ini jabar dan tafwidh (atau qadar) telah ditolak, dan dengan menolaknya suatu posisi tengah-tengah ('amr bayn al-'amrayn) diajukan; yakni, bahwa manusia bukanlah makhluk tiada kuasa dalam melakukan perbuatan apapun ibarat alat di tangan pekerja; tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan apapun atau membela dirinya sendiri, ataupun ia bukanlah makhluk yang sepenuhnya mampu melakukan perbuatannya secara independen, seakan-akan Tuhan tidak mempunyai kekuasaan atas perbuatannya. Dalam kenyataan, semua perbuatan ini saling berkaitan, di satu sisi dengan Tuhan, dan di sisi lain dirinya sendiri.10
Hak Alamiah dan Keadilan :
:
Mengenai hak-hak alamiah, Muthahhari berpendapat bahwa Islam percaya hak-hak alamiah serta keadilan universal (yang inheren dalam hukum-hukum alam). Tanpa menegaskan suatu tujuan ataupun maksud untuk dunia, yakni suatu pandangan-dunia teleologis, hukum-hukum alamiah tidak bisa dibenarkan.11
Ia mengatakan bahwa berjalannya alam semesta menurut hukum-hukum alam menunjukkan bahwa berjalannya itu bertujuan, dan bahwa tujuan menuju pencapaian yang hal itu bergerak, ditentukan oleh Penciptanya, Allah.
Dengan demikian, Muthahhari menarik kesimpulan, perbedaan mendasar antara logika Ilahi dan logika profan atau non-Ilahi adalah bahwa yang pertama didasarkan pada keyakinan bahwa setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki hak atas dunia. Seluruh makhluk manusia merupakan anak-anak alam semesta, dan seorang anak mempunyai hak atas orang tuanya, dan sebaliknya ia harus memberikan kompensasi untuk dunia di masa depan (yakni memenuhi tanggung jawabnya terhadap dunia).12
Dalam mendukung pandangannya ia mengutip ayat Al-Quran :
Dialah yang menciptakan bagi kalian semua yang ada di bumi. 13 (QS….)
. 13 (QS….)
Dan bumi, Dia telah menatanya untuk makhluk-makhluk; 14(55: 10)
; 14(55: 10)
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di bumi dan membuat sarana-sarana penghidupan di dalamnya bagi kalian; sedikit sekali di antara kalian yang bersyukur. (7: 10)15
. (7: 10)15
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. (17: 70)16
(17: 70)16
Ayat-ayat ini mengelaborasi hak-hak alamiah yang dilimpahkan kepada manusia, yang menekankan bahwa hak-hak alamiah pada prinsipnya dari sumber Ilahi, yaitu dicurahkan kepada manusia oleh Tuhan sendiri. Pandangan ini adalah kutub-kutub yang terlepas dari pandangan Marxis yang percaya bahwa manusia memperoleh suatu hak setelah ia memenuhi tanggung jawabnya. Islam, sebaliknya, pertama-tama mengakui hak-hak dan kemudian mengobligasikan kepada manusia untuk melakukan tugasnya terhadap dunia dan masyarakat. Hal ini berlawanan dengan prinsip pokok dari The Communist Manifesto : Kepada setiap orang menurut kerjanya. Prinsip Marxis yang asli yang dimodifikasi adalah 'kepada setiap menurut kebutuhannya', yang agaknya sepadan dengan gagasan Islam tentang hak-hak alamiah.
Kini pertanyaan yang muncul adalah apakah hak manusia lebih utama daripada keadilan ataukah sebaliknya; dengan kata lain, apakah hak-hak ditentukan berdasarkan keadilan ataukah sebaliknya. Muthahhari berkeyakinan bahwa keadilan merupakan pondasi dan pijakan bagi hak-hak. Perlu dicatat bahwa Muthahhari mengeluarkan gagasan kebebasan dan persamaan dari kategori hak-hak, karena ia percaya bahwa hak-hak diturunkan dari kebebasan dan persamaan, sehingga definisi hak tidak melingkupinya dan tidak dapat diaplikasikan kepada kebebasan dan persamaan.17 Di sini orang bisa menjumpai suatu kesamaan yang menakjubkan antara pandangan Muthahhari ihwal kebebasan dan gagasan kaum eksistensialis tentang kebebasan, yang secara khusus dalam pandangan Jean-Paul Sartre, dianggap sebagai kategori ontologis, pijakan dan hakikat eksistensi manusia.
Agama dan Keadilan :
:
Tentang hubungan antara agama dan keadilan, Muthahhari percaya bahwa hal ini merupakan tema yang krusial yang terhadapnya mendukung mazhab teologi yang bermacam-macam mempunyai perbedaan pandangan. Mu'tazilah percaya bahwa keadilan adalah agama, yakni, agama disandarkan kepada keadilan. Itulah mengapa Mu'tazilah secara populer dikenal sebagai 'adliyyah (para pembela keadilan). Namun Asy'ariyah percaya bahwa apa yang agama katakan adalah keadilan. Muthahhari berdampingan dengan Mu'tazilah dan yakin bahwa pandangan keadilan merupakan kriteria agama, atau dengan kata lain, keadilan adalah agama. Muthahhari mengatakan dalam salah satu tercecernya, yang dimasukkan dalam pengantar Barrasi-ye ijmâli-ye mabâni-ye iqtishâd-e Islâmi :
Prinsip keadilan adalah kriteria Islam, yakni orang harus mengevaluasi seluruh perkara dengan sorotan kriteria ini. Keadilan mempunyai sebab (atau alasan) hukum-hukum agama dan bukan salah satu efek (produk) dari hukum. Apa yang agama terangkan bukanlah keadilan, namun apa yang keadilan tawarkan itulah agama.18
Menurut pandangan ini, keadilan memberikan landasan bagi agama, dan dengan demikian keadilan lebih utama daripada agama. Pandangan ini dengan implikasinya menunjukkan bahwa 'adl (keadilan) adalah kriteria baik dan buruk, yang berarti bahwa semua kebaikan dan keburukan ditentukan secara rasional. Di sini ada kemiripan antara pandangan Muthahhari dan Plato mengenai keadilan.
Kini pertanyaannya adalah apa hukum adil itu ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Muthahhari menjawab : Pertama, harus dijelaskan apakah keadilan itu dan bagaimana hukum serta tertib sosial harus ditempatkan untuk menutupi jalan bagi keadilan sosial ? Dengan demikian, keadilan dan kezaliman di luar konteks masyarakat tidak punya arti apa-apa. Muspra. Pada saat yang sama, mereka tidak dibatasi kepada manusia, yakni ia mencakup juga binatang dan tumbuhan. Sehingga binatang juga mempunyai hak di alam semesta ini; oleh karenanya, keadilan terlepas dari konteks sosialnya, mencakup makhluk non-manusia juga.19
Kembali kepada gagasan keadilan sosial, dalam bukunya Barrasi-ye ijmâli-ye mabâni-ye iqtishâd-e Islami, Muthahhari berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara keadilan sosial dengan keadilan individu. Yakni keadilan sosial tidak menghalangi keadilan individu ketika mempunyai sifat Ilahi mengingat kezaliman bertentangan dengannya yang dapat diberi hukuman.
Menjamin hak-hak manusia merupakan tanggung jawab seluruh manusia, karena hak-hak alamiah wujud sifatnya permanen dan pada prinsipnya universal. Tidak ada pengalaman yang bisa memisahkan mereka. Misalnya hak hidup, hak kebebasan, dan hak persamaan yang tidak dapat dihapuskan. Muthahhari berpendapat bahwa bahkan dalam kepentingan masyarakat orang tidak dapat dihilangkan hak alamiahnya. Namun pada saat yang sama ia mengakui bahwa kepentingan sosial secara keseluruhan dalam bahaya, sebagian dari hak-hak ini dapat dihilangkan. Umpamanya, jika masyarakat merasa terancam, orang bisa dilepaskan hak alamiahnya untuk hidup, namun hal ini baru diperbolehkan dalam keadaan yang sangat darurat.
Dengan rujukan kepada Declaration of Human Rights, ia mengatakan bahwa hak-hak manusia diperkosa secara diam-diam atau terang-terangan di zaman kita meskipun dalam kemajuan masyarakat manusia di bidang teknologi dan saintifik. Ia menyimpulkan bahwa satu-satunya agama yang bisa menjamin hak-hak alamiah dan menegakkan keadilan adalah : agama moral, agama hukum, dan agama keadilan. Muthahhari berkata bahwa kita tidak bisa menolak peranan ilmu namun ilmu mempunyai bidang dan batasannya sendiri. Yakni, ia bisa menjadi instrumen yang baik dan dapat berperan sebagai cahaya, namun ia bukan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Orang-orang yang menganggap akal sebagai cukup untuk menegakkan hukum keadilan, berharap terlalu banyak darinya. Ilmu dan akal merupakan instrumen dalam menggerakkan manusia kepada tujuannya, namuan kekuatan penggerak di balik keduanya adalah agama, yang baginya keduanya merupakan alat.
Dalam bukunya Insan wa Iman (Man and Faith [edisi bahasa Indonesianya sudah diterbitkan oleh Mizan, Bandung dengan judul Manusia dan Agama -red.]), Muthahhari menulis bahwa hubungan antara ilmu dan agama telah memunculkan banyak kepentingan di antara para pemikir religius dengan pemikir non-religius. 'Allâmah Muhammad Iqbal menulis tentang tema ini :
Kemanusiaan memerlukan tiga hal sekarang ini : interpretasi spiritual atas alam semesta, emansipasi spiritual individual, dan prinsip-prinsip pokok dari signifikansi universal yang mengarahkan kepada evolusi masyarakat manusia dengan landasan spiritual. Eropa modern, tidak diragukan lagi, telah membangun sistem idealistik dengan jalur ini, namun pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang diturunkan melalui akal murni tidak mampu membawa obor keyakinan kehidupan itu di mana hanya wahyu semata yang mampu membawa obor tersebut. Inilah alasan mengapa pemikiran murni sedikit sekali mempengaruhi manusia sementara agama senantiasa mengangkat individu-individu, mentransformasi seluruh masyarakat. Idealisme Eropa tidak pernah menjadi faktor yang hidup di dalam kehidupannya dan akibatnya ialah suatu ego penyimpangan yang mencari dirinya sendiri melalui demokrasi intoleran secara mutual yang fungsinya semata-mata adalah untuk mengeksploitasi kaum miskin pada kepentingan orang kaya.20
Ketika dibandingkan dengan para pemikir Barat kontemporer, bisa dikatakan benar bahwa Muthahhari telah mengkonstruksi ide keadilannnya dengan landasan yang lebih aman tinimbang yang diajukan oleh para pemikir Barat ini. Landasan ini yang disiapkan dengan konsepsi Muthahhari tentang fitrah dan hak-hak alamiah yang dijamin oleh fitrah untuk semua makhluk hidup. Ia memberikan prioritas kepada hak-hak alamiah dan tidak disiapkan untuk menerima bahwa hak-hak ini bisa dicabut oleh masyarakat kecuali dalam keadaan yang sangat darurat. Dalam pandangannya, hak-hak alamiah bersumber dari Tuhan. Pandangan teistik Muthahari ini juga secara logis lebih unggul ketimbang pandangan ateistik dari para filosof Barat kontemporer. Ini lantaran keimanannya kepada Islam yang tidak tergoyahkan. Ia percaya bahwa hanya Islam saja, ketika menghadapi kapitalisme dan sosialisme, yang sepenuhnya menjamin hak-hak alamiah manusia dan memberikan garansi keadilan sosial kepada seluruh manusia. Ini ditunjukkan bahwa esensi pemikiran Muthahhari melalui karya-karyanya tentang filsafat sosial merupakan konsepsi fitrah manusia. Ini merupakan dasar-dasar teologi baru dari Muthahhari. Konsep fitrah membantu Muthahhari untuk mengkritisi kecenderungan Barat sekaitan dengan gagasan keadilan, keadilan sosial, serta membangun kembali pemikiran Islam.
Catatan Kaki :
David L. Sills, Encyclopedia of Social Sciences, (USA. The MacMillan Company & The Free Press, 1968), jilid 8, hal.344-345.
Ibid.
Ludwig von Mises, Socialism, terjemahan J. Kahane (London, Jonathan Cape Ltd., 1936).
Untuk diskusi mendetail tentang kelas baru lihat buku Millowon Djilas, New Class.
Marx Hirsch (Melbourne), Democracy versus Socialism, (New York: MacMillan and Company Ltd., 1961), hal.253.
Murtadha Muthahhari, Barrasi-ye ijmâli-ye mabâni-ye iqtishâd-e Islâmi (Studi Ringkas tentang Dasar-dasar Ekonomi Islam), (Tehran: Hikmat Publications, 1403 H), hal.170.
Murtadha Muthahhari, "An Intoduction to 'Ilm Al-Kalâm", Al-Tawhid : A Quarterly Journal of Islamic Thought and Culture, (Tehran: Islamic Propagation Organisazation, January 1985), hal.63.
H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalâm, (London: Cambridge), 1970.
Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq Al-Kulaini (w.328 atau 329 H), Ushûl Al-Kâfi, (Tehran: Intisyarat-e Islâmi), jilid 1, hal.222-224.
Dr. Syed Lathîf Hussain Kâzhmi, Concept of Freedom in Sartre's and Iqbal's Philosophy, tesis doktoral yang diajukan ke Fakultas Filsafat, A.M.U Aligarh, hal.186.
Murtadha Muthahhari, Barrasi-ye ijmâli-ye mabâni-ye iqtishad-e Islâmi, op.cit., hal.164.
Ibid., hal.165.
QS.Al-Baqarah, 2: 29.
QS. Ar-Rahman, 55: 10.
QS. Al-A'râf, 7: 10.
QS. Al-Isrâ, 17: 70.
Murtadha Muthaharri, Barrasi-ye ijmâli-ye mabâni-ye iqtishâd-e Islâmi, op.cit., hal.65.
Ibid., hal.170-71.
Ibid., hal.15-16.
Murtadha Muthahhari, Fundamentals of Islamic Thought, terjemahan R. Campbell (California, Mizan Press, 1985), hal.34.
Labels: Teologi Dan Filsafat